Akhir-akhir ini berbagai demonstrasi di Indonesia sering kali berakhir dengan kericuhan. Pemandangan ini seolah menjadi bukti negara gagal memahami esensi dari sebuah protes.
Alih-alih mendengarkan suara yang disampaikan, protes-protes tersebut justru sering kali berakhir dengan tuduhan, tindakan represif, dan bahkan kekerasan.
Kejengkelan yang Telah Lama Terpendam
Kericuhan yang terjadi bukanlah fenomena instan, melainkan akumulasi dari kejengkelan rakyat yang telah lama terpendam.
Pemicunya beragam, terutama yang berkaitan dengan beban ekonomi dan kesejahteraan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas yang sulit bagi masyarakat. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, misalnya, masih menjadi isu besar. Pada Februari 2024, BPS mencatat jumlah pengangguran terbuka mencapai sekitar 7.200.000 orang. Angka ini menggambarkan betapa sulitnya mencari pekerjaan, sementara peluang kerja terasa semakin sempit, terutama bagi angkatan muda.
Sikap Elit yang Jauh dari Empati
Di tengah kesulitan ini, masyarakat berharap adanya empati dan simpati dari para petinggi negara. Namun, respons yang ditunjukkan justru sering kali sebaliknya.
Banyak pejabat yang justru menunjukkan sikap angkuh, seolah tidak tersentuh oleh penderitaan rakyat.
Pernyataan-pernyataan yang meremehkan, bahkan menyalahkan, menambah luka di hati masyarakat. Alih-alih menjadi pelayan publik, mereka justru terlihat sebagai penguasa yang sibuk menjaga citra dan kekuasaan.
Sikap abai ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan atau tindakan yang justru dianggap "meneror" rakyat kecil. Contoh yang paling nyata adalah praktik "dipalak" dengan dalih royalti musik, di mana seniman atau musisi jalanan diancam atau diminta membayar sejumlah uang secara sepihak.